Pada bulan-bulan musim pesta pernikahan
macam ini hampir setiap malam aku bersama
istriku selalu menyempatkan untuk hadir. Terus
terang yang paling kami sukai adalah berburu
makanan. Kambing guling, soto sulung atau
bebek Hainan atau Chech Steak merupakan
makanan enak dan tak pernah kami lewatkan.
Sayang malam ini istriku berhalangan hadir
karena ada keperluan lain.
Dengan pakaian lengkapku, stelan jas dan dasi,
aku hadir pada resepsi pernikahan anak dari
relasi penting di kawasan Tebet. Pesta ini
diselenggarakan di rumahnya yang memang
bertanah luas dengan bangunannya yang besar
pula. Mungkin ada barang 3000 m tanahnya,
lengkap dengan areal parkirnya. Namun aku tak
hendak parkir di halaman. Aku lebih suka parkir
di jalanan yang sewaktu-waktu ingin pergi akan
mudah meninggalkan tanpa kesulitan.
Nampaknya pesta ini benar-benar mewah,
maklum dia ini pejabat cukup tinggi dari salah
satu departemen basah RI. Nampak mobil-mobil
mewah berderet-deret memenuhi jalanan.
Nampak Polantas dikerahkan untuk
melancarkan jalanan.
Rupanya pesta di rumah yang sangat mewah.
Tamu tersebar di dalam rumah, di pendopo juga
di kebun yang luas dan asri ini. Ruang-ruang di
taman yang nampak dibentuk oleh cahaya
sungguh sangat romantis. Nampak tenda purih
bersih penuh bunga dan pita menjadi pusat
orientasi para tamu. Nampak di sana-sini
tersebar bangku untuk tamu-tamu duduk.
Semua direncanakan untuk kesan mewah dan
anggun banget. Yang menonjol adalah kiriman
bunga. Beratus-ratus kiriman bunga ucapan
selamat itu disusun sedemikian rupa sehingga
memperindah suasana taman dan kebun ini.
Dengan dilokasikan pada tempat yang strategis
tanpa mengganggu alur orang mondar mandir
bunga-bunga itu disusun membentuk kerucut.
Pasti hal ini telah diperhitungkan sehingga
pemilik rumah telah menyediakan dudukan yang
unik dan kokoh sebelumnya.
Begitu aku menaiki tangga aku berpapasan
dengan pasangan suami istri berusia sebaya.
Aku dan sang istrinya sempat bertemu mata
sesaat. Dia tersenyum padaku yang langsung
aku membalas dengan anggukan tanda
hormatku. Aku pandang itu adalah bentuk
keramahan umum dalam acara pesta macam
ini. Seseorang tak perlu saling mengenal untuk
langsung bertegur sapa. Dan oleh keramaian
dan kemeriahan pesta aku tak lagi memikirkan
soal itu.
Sesudah antre untuk bersalaman dengan
pengantin dan orang tuanya aku langsung
tenggelam pada hidangan yang aku pandang
’super mewah’ ini. Wooww.. Banyak makan
favoritku bisa kutemui. Aku jadi ingat istriku,
sayang dia nggak bisa ikut.
“Hati-hati lho Mas, nanti kena kolesterol,” tiba-
tiba kudengar suara ‘jazzy’ dari arah
sampingku.
Ah.. Ternyata ini ibu yang tersenyum padaku di
tangga tadi. Aku mengangguk hormat, “Iya ini
Bu… ehh, jeng.. Aku nggak bisa menahan diri
kalau lihat yang enak-enak macam begini,”
jawabku sekenanya.
“Acchh.. Bahaya dong kalau begitu”
Eehh.. Ternyata dia kembali menyambungnya.
Kini aku serius menengok dia dan
memperhatikan. Uuhh.. Ibu ini tidak cantik,
maksud saya biasa-biasa saja, namun nampak
sangat ‘charming’ dan seksi banget. Dengan
gaun pesta berwarna gelap yang terbuka
bahunya kecuali tali kecil yang menahan agar
tidak merosot menampilkan betapa bersih dan
mulus kulitnya. Aku taksir usianya belum 40
tahun. Mungkin sekitar 36 begitulah.
“Kenapa Bu.. Eehh.. Jeng..?”
“Yaa ituu… lihat saja, banyak yang ‘enak-enak’
khan?” sambil tangannya dan matanya
mengarahkan aku ke audience, para tetamu
wanita yang rata-rata malam itu memang
nampak cantik-cantik dan ‘enak’ tentunya.
Rupanya ibu ini pinter sekali memplesetkan
omonganku tadi. Aku menunduk membetulkan
sendokku sambil tersenyum.
“Bapak mana Bu? Kok ditinggal?” aku berusaha
membelokkan pembicaraan.
“Ah, bapaknya sih, kalau sudah ketemu ‘geng’-
nya lupa sama saya. Tuh lagi asyik nggerombol
sama teman-temannya”.
Oo… rupanya suaminya termasuk kelompok
satu departemen dengan tuan rumah. Aku lihat
beberapa pejabat lain yang kukenal pula dalam
gerombolan suami ibu ini.
“Mas sendiri, mana istrinya?”
“Aa.. nu Bu…” aku belum menyelesaikan
omonganku.
“Ya sudah, semua lelaki memang pengin
menyendiri khan? Bisa bebas menyantap yang
‘enak-enak’?”
Rupanya ibu ini kembali gencar memojokkan
aku. Aku jadi penasaran. Apakah dia termasuk
perempuan yang ‘kecewa sama suami’? Dan
akan binal saat ada kesempatan lepas dari
gandengan suaminya?
“Lhoo.. Kok begitu mandangnya sih? Marah
ya?” aduh senyumnya jadi manis banget di
mataku.
“Ah.. Nggaakk.. Soalnya saya baru sadar…”
Sengaja aku nggak selesaikan kata-kataku. Ibu
ini nampak jadi penasaran.
“Sadar apaan, Mas?”
“Ternyata di dekat saya ada makanan yang
bukan ‘enak’ namun ’sangat lezaatt’…” kataku
nekat dan memberanikan diri sambil mataku
melotot seakan menelanjangi tubuh seksinya.
Tahu bahwa yang kumaksud adalah dia, “Orang
sudah tua macam gini kok..” dengan gayanya
yang sangat menggoda libidoku. “Pasti sedap
banget nih…” aku langsung tukas omongannya
dengan bisikkan.
Dia menampakkan mukanya yang langsung
memerah. Ehh.. Tahu-tahu tangannya cepat
meraih dan mencubit lenganku. Sesungguhnya
aku tak begitu heran. Sebagai lelaki yang rata-
rata orang bilang ‘tampan, simpatik, seksi’
dengan posturku yang jangkung dan macho
macam Reynaldi bintang iklan dan sinetron itu,
aku sering ketemu perempuan macam ibu ini.
Yang tanpa sungkan dan malu memang
berharap aku memberikannya perhatian khusus.
“Mas jangan coba-coba. N’tar dibunuh sama
suamiku lho,” kelakarnya. Aku jadi semakin
yakin akan ke’binal’annya. Rejeki nomplok, nih,
pikirku.
“Apa salahnya ‘makan lezat’? Salah sendiri
‘makanan lezat’ dibiarkan jalan sendiri?”
kataku kalem sambil meraih tangannya yang
masih mencubitku.
Tanganku meremasi tangannya. Ahh.. Dia
menyambut remasanku. Aku tak akan mundur
lagi. Aku mesti cari lokasi yang tersembunyi nih.
Di toilet tuan rumah? Atau di balik pohon di
taman? Atau di balik tumpukkan karangan
bunga? Atau di mobilku? Ah, banyak pilihan.
“Kok jadi bengong sih, Mas? Mikir yaa..”
“Iyaa.. Saya lagi mikir tempat mana yang bisa
aku sembunyi menyantap ‘makan enak’ ini,”
jawabku sekenanya yang langsung dibalas
dengan kembali mencubit berikut pelintiran
yang sakit sekali di tanganku.
Kupikir agresip banget nih ibu. Adakah memang
dia perempuan demikian kegatelan?!
“Aduhh, udah buu.. Ayo makan saja deh.
Mendingan kita nyari kursi di luar. Makan
sambil mikirin, yookk”
Dalam iringan gamelan pengantar pengantin
aku beranjak keluar ruang tenda. Ibu ini tanpa
ba bi bu, dengan piring makannya langsung
mengekor aku mencari kursi kosong di taman.
Kulihat di pojok dekat karangan bunga yang
menggunung nampak kursi dan meja kosong
dengan lampunya yang tak terlampau mencolok.
Aku menuju kesana diikuti ibu ini.
“N’tar suami ibu nyariin, lho,” kataku khawatir.
“Biarlah. Dia khan juga asyik sendiri,” katanya
acuh.
Pada kesempatan itu aku mengulurkan tangan
untuk kenalan.
Aku menyebut namaku, “Hendra”
“Norma,” dia juga menyebut namanya.
“Panggil saja Nor,” katanya.
Kami saling pandang penuh makna. Pandangan
yang mengartikan kesepakatan untuk berbuat
apa saja tanpa batas. Matanya nampak ‘binal’
seperti perempuan yang mendambakan untuk
dipuaskan. Adakah suaminya tak mampu
memberikannya? Aku pikir tak usah bertanya.
Kalau memang mau ya, lakukan saja apa yang
ku mau. Dan aku yakin sesungguhnya ibu ini
telah mengundangku. Sangat bodoh kalau aku
tak tahu dan merespon undangannya. Aku
harus cari akal. Kami tak lagi bisa konsentrasi
makan.
Dalam keremangan kebun itu kami cukup bebas
saling sentuh dan remas. ku sejak tadi sudah
menampilkan ketegangannya. Dalam pada itu
aku mendapatkan ide untuk membawa Norma
kebelakang tumpukkan karangan bunga itu.
Aku pamit Norma sebentar untuk menengok
kemungkinannya. Kulihat bunga-bunga itu
disusun 2 tingkat ke atas dan bersandar pada
dinding sehingga terjadi celah segi tiga yang
cukup longgar untuk bisa aku masuk ke sana.
Tanpa ragu aku gandeng Norma untuk menuju
ke belakang tumpukkan karangan bunga itu.
Keramaian orang dan lalu lalang tamu membuat
apa yang kami lakukan tidak lagi menarik
perhatian orang.
Kami langsung masuk jauh ke celah antara
tumpukkan bunga dan dinding. Aku bersender
dan menggamit Norma kemudian merangkul
dan memagutnya. Tanpa lagi sabar Norna
langsung memeluk erat aku. Aku
menyambutnya. Kami berpagut bertukar lidah
dan ludah. Tangan-tangan langsung saling
meremasi daging lawannya. Aku raih
bokongnya untuk kuremas-remas. Tangan
Norman memeluk punggungku dan
menancapkan kukunya. Aku mendengar desah
nafsu yang tak sabar. Aku sudah pengin melihat
bagaimana kehausan seksualnya perempuan ini.
Kukendorkan dasiku dan kubuka kancing
kemejaku.
Norma cepat meraih dan menyibakkannya. Dia
langsung menyantap ujung pentilku. Dia cium
dan sedoti dadaku. Aku melayang dalam nikmat
birahi. Aku bergaya menyerah. Kubiarkan
kehausan Norma melahap aku dengan buas dan
liarnya. Ah.. Dasar perempuan yang tak pernah
merasakan kepuasan dari suaminya. Aku
dipepetkannya ke dinding. Dia bimbing
tanganku agar kuangkat ke atas. Norma ingin
melahapi ketiakku yang penuh bulu. Dia
benamkan wajahnya untuk menjilati lembah
ketiakku itu. Duuhh.. Bukan main nikmatnya.
Kini aku semakin tak mampu menahan
gelinjang syahwatku. Aku raih kepala Norma
dan kutekan agar turun ke bawah. Sementara
tanganku sudah membuka kancing celanaku.
Aku ingin biar Norma yang membuka
berikutnya.
Dia tahu. Kini dengan berjongkok di lutut,
Norma menenggelamkan mukanya untuk
menciumi selangkanganku. Dia ‘ngusel-usel’kan
mukanya untuk menghirup aroma
selangkanganku. Bibirnya mulai menggigiti
tonjolan celana dalamku. Dia sangat histeris.
“Mass.. nya gede banget sihh…” desahnya
dalam bisikkan yang sangat gemetar.
Aku tahu dia sangat menahan nafsunya. Sangat
ingin mendapatkan obsesi seksualnya.
Kemudian tangannya merenggut lepas celana
dalamku. Tak ayal lagi, langsung disambutnya
ku. Mulutnya menganga menerima batangan
kemaluanku yang telah sangat keras disertai
urat-urat darah yang melingkarinya. Kulihat
bibirnya termonyong-monyong penuh dengan
batang kerasku. Aku menyaksikan betapa
ganasnya Norma menjilat-jilat dan menggigit
batangku ini. Lidahnya terus menyapu
kepalanya yang berkilatan karena tekanan keras
dari urat darahnya. Dia reguk cairan birahiku
yang terus mengalir keluar. Dia jilati bijih
pelirku. Sambil mendesah dan meracau dia
menyeruak ke bawah selangkangan untuk
meraih kenikmatannya. Akhirnya aku tak
mampu menahannya. Rasa gatal menandai
bahwa spermaku mendesak untuk muncrat
demikian membuat aku gelisah dan mendesah
pula.
“Noorr.. Aku mau keluar niihh…”
Norma justru langsung mencaplok kepala ku
dan memompa. Aku tahu, dia ingin aku
memuntahkan air maninya ke mulutnya.
Demikian memang kebanyakkan perempuan
yang kehausan macam Norma. Dengan semakin
aku nikmat dan melayang orgasmeku tak lagi
bisa kubendung. Aku merasakan ejakulasiku di
mulut Norma sungguh sangat nikmat.
Perempuan dengan busana malam yang sangat
seksi ini menerima 6 atau 7 kali kedutan
semprotan spermaku ke mulutnya. Yang
kudengar hanyalah “mmll, hheelm.. hhllmpp…”
sambil tangannya terus ikut memerasi
batanganku. Agaknya dia ingin yakin bahwa
tak ada lagi spermaku yang tersisa pada batang
ku.
Tiba-tiba terdengar HP-nya memanggil. Masih
dengan belepotan sperma di dagu bibir dan
pipinya Norma mengambil HP dari tasnya. Dia
lihat rupanya suaminya yang menelpon.
“Ya, mass…”
“Yaa… aku sedang di dapur ketemu ibu-ibu.
Biasa.. Ngrumpii…” katanya sambil cekikikan
seakan-akan tak ada hal yang penting.
Sesudah beberapa omongan dia tutup HP-nya
dan dimasukkan kembali ke tasnya.
“Ahh.. Gangguan ya sayaanngg…” sambil
kembali tangannya mengelusi batang ku.
Nampaknya telepon itu sama sekali tak
menggagunya. Dan nampaknya dia memang
biasa menipu suaminya. Betapa tenangnya ini
perempuan. Aku juga ikut untuk tak perlu was-
was. Kembali kami saling berpagut. Bermenit-
menit kami berpagut sambil tangan Norma
mengurut-urut kemaluanku agar mau kembali
keras ngaceng. Sementara itu tanganku juga
bergerilya meremasi vaginanya. Kurogohkan
tangan ke celana dalamnya.
Kurasakan betapa lebat bulu kemaluannya yang
menandakan dia memang perempuan yang
sangat haus belaian seks. Aku memahami apa
yang diinginkan Norma. Dia belum meraih
kepuasan dariku sementara aku telah ejakulasi
ke mulutnya. Kini aku mesti membuatnya
meronta dalam luapan nikmat syahwat.
Sesudah aku merasakan cukup untuk penetrasi
aku keluarkan lenguhan. Aku bimbing dia agar
tangannya bertumpu ke dinding. Aku ingin
melakukan penetrasi dari arah belakang.
Kusingkap gaun malamnya dan kuperosotkan
lepas celana dalamnya. Masih sempat aku
memasukkan celana dalam itu ke tasnya agar
tidak kotor kena tanah taman itu.
Kini terpampang dan kupandangi vagina Norma
di bawah bokongnya. Sungguh sangat
merangsang birahiku. Perempuan seusia dia
masih menampilkan kencang urat dan mulusnya
selangkangan. Paha dan bibir kemaluannya.
Aku tak mampu menahan diri. Aku dekatkan
wajahku untuik menciumi pantatnya, bahkan
lubang anusnya kemudian vaginanya. Aku
dengarkan desahan dan rasa pedih pada
jambakan tangannya di rambutku. Norma
sungguh-sungguh menerima nikmat yang tak
terhingga. Lidahku bermain menjilati lubang
anal dan melata hingga kelentitnya. Terkadang
menyeruak menusuk gerbang vaginanya.
“Hendraa.. Kamu sangat jantaann.. Hendraa..
Aku cinta kamuu.. Aku cinta kamuu.. Aku cinta
kamu Hendraa…” tangannya terus meremasi
rambutku.
“Ampunn Hendra.. Jangan siksa aku.. Sudaahh..
Aku tak lagi tahann.. Hendraa.. Aarcchh…” dia
menjerit kenikmatan.
Sambil tangannya yang merangkaki dinding
bergerak turun hingga posisinya lebih
menungging. Norma ingin aku lekas melakukan
penetrasi dari arah belakang. Dia berusaha
meraih ku untuk diarahkan ke lubang nya.
Dengan jeritan kecil dia menyertai amblasnya ku
ditelan gatalnya itu. Selanjutnya aku berayun-
ayun mendorong tarik ku. Dan Norma
menggoyang maju mundur untuk menelan ku
lebih dalam lagi merangseki kemaluannya.
Pada detik-detik menjelang orgasmenya, seperti
kuda betina yang dilanda birahi jantannya nafas
Norma terdengar memburu. Dia meronta-ronta
mencakari dinding menyertai goyangan
pompaanku yang semakin cepat karena aku
sendiri juga ingin menumpahkan sperma
berbarengan dengan orgasmenya. Dan saat
puncak syahwat itu datang melanda, kami
berdua seakan lupa akan keberadaan kami
dimana. Hampir kami tak mampu membendung
desah nikmat. Teriakan kami yang tertahan
telah mengantarkan orgasme Norma dan
tumpahnya air maniku ke vaginanya.
Aku perlu sedikit merapikan rambutku sebelum
kembali ke keramaian. Untuk menghindari
perhatian orang, Norma sepakat aku akan
keluar duluan. Beberapa menit kemudian dia
menyusul. Aku langsung keluar menghilang dan
pulang. Agak gontai aku menuju mobilku. Aku
nggak tahu lagi apa dan bagaimana Norma.
Mungkin dia mencari-cari aku. Aku pikir itu
sudah urusan suaminya. Aku tak ingin ada
hubungan panjang dan membuat repot. Aku
hanya catat dalam notebook-ku hari itu adalah
20 September malam saat orang-orang ramai
memperbincangkan tanda-tanda kemenangan
sby di Quick Count. Memang aku sendiri yang
selalu ingin bebas selalu menyenangi perubahan.