Dengan langkah ragu-ragu aku mendekati ruang dosen di mana Pak Herry berada.
“Winda…”, sebuah suara memanggil.
“Hei Ratna!”.
“Ngapain kau cari-cari dosen killer itu?”, Ratna itu bertanya heran.
“Tau nih, aku mau minta ujian susulan, sudah dua kali aku minta diundur terus, kenapa ya?”.
“Idih jahat banget!”.
“Makanya, aku takut nanti di raport merah, mata kuliah dia kan penting!, tauk nih, bentar ya aku masuk dulu!”.
“He-eh deh, sampai nanti!” Ratna berlalu.
Dengan memberanikan diri aku mengetuk pintu.
“Masuk…!”, Sebuah suara yang amat ditakutinya menyilakannya masuk.
“Selamat siang pak!”.
“Selamat siang, kamu siapa?”, tanyanya tanpa meninggalkan pekerjaan yang sedang dikerjakannya.
“Saya Winda…!”.
“Aku..? Oh, yang mau minta ujian lagi itu ya?”.
“Iya benar pak.”
“Saya tidak ada waktu, nanti hari minggu saja kamu datang ke rumah saya,
 ini kartu nama saya”, Katanya acuh tak acuh sambil menyerahkan kartu 
namanya.
“Ada lagi?” tanya dosen itu.
“Tidak pak, selamat siang!”
“Selamat siang!”.
Dengan lemas aku beranjak keluar dari ruangan itu. Kesal sekali rasanya,
 sudah belajar sampai larut malam, sampai di sini harus kembali lagi 
hari Minggu, huh!
Mungkin hanya akulah yang hari Minggu masih berjalan sambil membawa tas 
hendak kuliah. Hari ini aku harus memenuhi ujian susulan di rumah Pak 
Herry, dosen berengsek itu.
Rumah Pak Herry terletak di sebuah perumahan elite, di atas sebuah 
bukit, agak jauh dari rumah-rumah lainnya. Belum sempat memijit Bel 
pintu sudah terbuka, Seraut wajah yang sudah mulai tua tetapi tetap 
segar muncul.
“Ehh…! Winda, ayo masuk!”, sapa orang itu yang tak lain adalah pak Herry sendiri.
“Permisi pak! Ibu mana?”, tanyaku berbasa-basi.
“Ibu sedang pergi dengan anak-anak ke rumah neneknya!”, sahut pak Herry ramah.
“Sebentar ya…”, katanya lagi sambil masuk ke dalam ruangan.
Tumben tidak sepeti biasanya ketika mengajar di kelas, dosen ini terkenal paling killer.
Rumah Pak Herry tertata rapi. Dinding ruang tamunya bercat putih. Di 
sudut ruangan terdapat seperangkat lemari kaca temapat tersimpan 
berbagai barang hiasan porselin. Di tengahnya ada hamparan permadani 
berbulu, dan kursi sofa kelas satu.
“Gimana sudah siap?”, tanya pak Herry mengejutkan aku dari lamunannya.
“Eh sudah pak!”
“Sebenarnya…, sebenarnya Winda tidak perlu mengikuti ulang susulan kalau…, kalau…!”
“Kalau apa pak?”, aku bertanya tak mengerti. Belum habis bicaranya, Pak Herry sudah menuburuk tubuhku.
“Pak…, apa-apaan ini?”, tanyaku kaget sambil meronta mencoba melepaskan diri.
“Jangan berpura-pura Winda sayang, aku membutuhkannya dan kau 
membutuhkan nilai bukan, kau akan kululuskan asalkan mau melayani aku!”,
 sahut lelaki itu sambil berusaha menciumi bibirku.
Serentak Bulu kudukku berdiri. Geli, jijik…, namun detah dari mana 
asalnya perasaan hasrat menggebu-gebu juga kembali menyerangku. Ingin 
rasanya membiarkan lelaki tua ini berlaku semaunya atas diriku. Harus 
kuakui memang, walaupun dia lebih pantas jadi bapakku, namun sebenarnya 
lelaki tua ini sering membuatku berdebar-debar juga kalau sedang 
mengajar. Tapi aku tetap berusaha meronta-ronta, untuk menaikkan harga 
diriku di mata Pak Herry.
“Lepaskan…, Pak jangan hhmmpppff…!”, kata-kataku tidak terselesaikan karena terburu bibirku tersumbat mulut pak Herry.
Aku meronta dan berhasil melepaskan diri. Aku bangkit dan berlari 
menghindar. Namun entah mengapa aku justru berlari masuk ke sebuah kamar
 tidur. Kurapatkan tubuhku di sudut ruangan sambil mengatur kembali 
nafasku yang terengah-engah, entah mengapa birahiku sedemikian cepat 
naik. Seluruh wajahku terasa panas, kedua kakikupun terasa gemetar.
Pak Herry seperti diberi kesempatan emas. Ia berjalan memasuki kamar dan
 mengunci pintunya. Lalu dengan perlahan ia mendekatiku. Tubuhku 
bergetar hebat manakala lelaki tua itu mengulurkan tangannya untuk 
merengkuh diriku. Dengan sekali tarik aku jatuh ke pelukan Pak Herry, 
bibirku segera tersumbat bibir laki-laki tua itu. Terasa lidahnya yang 
kasap bermain menyapu telak di dalam mulutku. Perasaanku bercampur aduk 
jadi satu, benci, jijik bercampur dengan rasa ingin dicumbui yang 
semakin kuat hingga akhirnya akupun merasa sudah kepalang basah, hati 
kecilku juga menginginkannya. Terbayang olehku saat-saat aku dicumbui 
seperti itu oleh Aldy, entah sedang di mana dia sekarang. aku tidak 
menolak lagi. bahkan kini malah membalas dengan hangat.
Merasa mendapat angin kini tangan Pak Herry bahkan makin berani 
menelusup di balik blouse yang aku pakai, tidak berhenti di situ, terus 
menelup ke balik beha yang aku pakai.
Jantungku berdegup kencang ketika tangan laki-laki itu meremas-remas 
gundukan daging kenyal yang ada di dadaku dengan gemas. Terasa benar, 
telapak tangannya yang kasap di permukaan buah dadaku, ditingkahi dengan
 jari-jarinya yang nakal mepermainkan puting susuku. Gemas sekali 
nampaknya dia. Tangannya makin lama makin kasar bergerak di dadaku ke 
kanan dan ke kiri.
Setelah puas, dengan tidak sabaran tangannya mulai melucuti pakaian yang
 aku pakai satu demi satu hingga berceceran di lantai. Hingga akhirnya 
aku hanya memakai secarik G-string saja. Bergegas pula Pak Herry 
melucuti kaos oblong dan sarungnya. Di baliknya menyembul batang penis 
laki-laki itu yang telah menegang, sebesar lengan Bayi.
Tak terasa aku menjerit ngeri, aku belum pernah melihat alat vital 
lelaki sebesar itu. Aku sedikit ngeri. Bisa jebol milikku dimasuki benda
 itu. Namun aku tak dapat menyembunyikan kekagumanku. Seolah ada pesona 
tersendiri hingga pandangan mataku terus tertuju ke benda itu. Pak Herry
 berjalan mendekatiku, tangannya meraih kunciran rambutku dan menariknya
 hingga ikatannya lepas dan rambutku bebas tergerai sampai ke punggung.
“Kau Cantik sekali Winda…”, gumam pak Herry mengagumi kecantikanku.
Aku hanya tersenyum tersipu-sipu mendengar pujian itu.
Dengan lembut Pak Herry mendorong tubuhku sampai terduduk di pinggir 
kasur. Lalu ia menarik G-string, kain terakhir yang menutupi tubuhku dan
 dibuangnya ke lantai. Kini kami berdua telah telanjang bulat. Tanpa 
melepaskan kedua belah kakiku, bahkan dengan gemas ia mementangkan kedua
 belah pahaku lebar-lebar. Matanya benar-benar nanar memandang daerah di
 sekitar selangkanganku. Nafas laki-laki itu demikian memburu.
Tak lama kemudian Pak membenamkan kepalanya di situ. Mulut dan lidahnya 
menjilat-jilat penuh nafsu di sekitar kemaluanku yang tertutup rambut 
lebat itu. Aku memejamkan mata, oohh, indahnya, aku sungguh 
menikmatinya, sampai-sampai tubuhku dibuat menggelinjang-gelinjang 
kegelian.
“Pak…!”, rintihku memelas.
“Pak…, aku tak tahan lagi…!”, aku memelas sambil menggigit bibir. 
Sungguh aku tak tahan lagi mengalamai siksaan birahi yang dilancarkan 
Pak Herry. Namun rupanya lelaki tua itu tidak peduli, bahkan senang 
melihat aku dalam keadaan demikian. Ini terlihat dari gerakan tangannya 
yang kini bahkan terjulur ke atas meremas-remas payudaraku, tetapi tidak
 menyudahi perbuatannya. Padahal aku sudah kewalahan dan telah sangat 
basah kuyup.
“Paakk…, aakkhh…!”, aku mengerang keras, kakinya menjepit kepala Pak 
Herry melampiaskan derita birahiku, kujambak rambut Pak Herry 
keras-keras. Kini aku tak peduli lagi bahwa lelaki itu adalah dosen yang
 aku hormati. Sungguh lihai laki-laki ini membangkitkan gairahku. aku 
yakin dengan nafsunya yang sebesar itu dia tentu sangat berpengalaman 
dalam hal ini, bahkan sangat mungkin sudah puluhan atau ratusan 
mahasiswi yang sudah digaulinya. Tapi apa peduliku?
Tiba-tiba Pak Herry melepaskan diri, lalu ia berdiri di depanku yang 
masih terduduk di tepi ranjang dengan bagian bawah perutnya persis 
berada di depan wajahku. aku sudah tahu apa yang dia mau, namun tanpa 
sempat melakukannya sendiri, tangannya telah meraih kepalaku untuk 
dibawa mendekati kejantanannya yang aduh mak.., Sungguh besar itu.
Tanpa melawan sama sekali aku membuka mulut selebar-lebarnya, Lalu 
kukulum sekalian alat vital Pak Herry ke dalam mulutku hingga membuat 
lelaki itu melek merem keenakan. Benda itu hanya masuk bagian kepala dan
 sedikit batangnya saja ke dalam mulutku. Itupun sudah terasa penuh. Aku
 hampir sesak nafas dibuatnya. Aku pun bekerja keras, menghisap, 
mengulum serta mempermainkan batang itu keluar masuk ke dalam mulutku. 
Terasa benar kepala itu bergetar hebat setiap kali lidahku menyapu 
kepalanya.
Beberapa saat kemudian Pak Herry melepaskan diri, ia membaringkan aku di
 tempat tidur dan menyusul berbaring di sisiku, kaki kiriku diangkat 
disilangkan di pinggangnya. Lalu Ia berusaha memasuki tubuhku belakang. 
Ketika itu pula kepala penis Pak Herry yang besar itu menggesek clitoris
 di liang senggamaku hingga aku merintih kenikmatan. Ia terus berusaha 
menekankan miliknya ke dalam milikku yang memang sudah sangat basah. 
Pelahan-lahan benda itu meluncur masuk ke dalam milikku.
Dan ketika dengan kasar dia tiba-tiba menekankan miliknya seluruhnya 
amblas ke dalam diriku aku tak kuasa menahan diri untuk tidak memekik. 
Perasaan luar biasa bercampur sedikit pedih menguasai diriku, hingga 
badanku mengejang beberapa detik.
Pak Herry cukup mengerti keadaan diriku, ketika dia selesai masuk 
seluruhnya dia memberi kesempatan padaku untuk menguasai diri beberapa 
saat. Sebelum kemudian dia mulai menggoyangkan pinggulnya pelan-pelan 
kemudian makin lama makin cepat.
Aku sungguh tak kuasa untuk tidak merintih setiap Pak Herry menggerakkan
 tubuhnya, gesekan demi gesekan di dinding dalam liang senggamaku 
sungguh membuatku lupa ingatan. Pak Herry menyetubuhi aku dengan cara 
itu. Sementara bibirnya tak hentinya melumat bibir, tengkuk dan leherku,
 tangannya selalu meremas-remas payudaraku. Aku dapat merasakan puting 
susuku mulai mengeras, runcing dan kaku.
Aku bisa melihat bagaimana batang penis lelaki itu keluar masuk ke dalam
 liang kemaluanku. Aku selalu menahan nafas ketika benda itu menusuk ke 
dalam. Milikku hampir tidak dapat menampung ukuran Pak Herry yang super 
itu, dan ini makin membuat Pak Herry tergila-gila.
Tidak sampai di situ, beberapa menit kemudian Pak Herry membalik tubuhku
 hingga menungging di hadapannya. Ia ingin pakai doggy style rupanya. 
Tangan lelaki itu kini lebih leluasa meremas-remas kedua belah payudara 
aku yang kini menggantung berat ke bawah. Sebagai seorang wanita aku 
memiliki daya tahan alami dalam bersetubuh. filmbokepejpang.com Tapi 
bahkan kini aku kewalahan menghadapi Pak Herry. Laki-laki itu 
benar-benar luar biasa tenaganya. Sudah hampir setengah jam ia bertahan.
 Aku yang kini duduk mengangkangi tubuhnya hampir kehabisan nafas.
Kupacu terus goyangan pinggulku, karena aku merasa sebentar lagi aku 
akan memperolehnya. Terus…, terus…, aku tak peduli lagi dengan gerakanku
 yang brutal ataupun suaraku yang kadang-kadang memekik menahan rasa 
luar biasa itu. Dan ketika klimaks itu sampai, aku tak peduli lagi…, aku
 memekik keras sambil menjambak rambutnya. Dunia serasa berputar. 
Sekujur tubuhku mengejang. Sungguh hebat rasa yang kurasakan kali ini. 
Sungguh ironi memang, aku mendapatkan kenikmatan seperti ini bukan 
dengan orang yang aku sukai. Tapi masa bodohlah.
Berkali-kali kuusap keringat yang membasahi dahiku. Pak Herry kemudian 
kembali mengambil inisiatif. kini gantian Pak Herry yang menindihi 
tubuhku. Ia memacu keras untuk mencapai klimaks. Desah nafasnya 
mendengus-dengus seperti kuda liar, sementara goyangan pinggulnya pun 
semakin cepat dan kasar. Peluhnya sudah penuh membasahi sekujur tubuhnya
 dan tubuhku. Sementara kami terus berpacu. Sungguh hebat laki-laki ini.
 Walaupun sudah berumur tapi masih bertahan segitu lama. Bahkan 
mengalahkan semua cowok-cowok yang pernah tidur denganku, walaupun 
mereka rata-rata sebaya denganku.
Namun beberapa saat kemudian, Pak Herry mulai menggeram sambil 
mengeretakkan giginya. Tubuh lelaki tua itu bergetar hebat di atas 
tubuhku. Penisnya menyemburkan cairan kental yang hangat ke dalam liang 
kemaluanku dengan derasnya.
Beberapa saat kemudian, perlahan-lahan kami memisahkan diri. Kami 
terbaring kelelahan di atas kasur itu. Nafasku yang tinggal satu-satu 
bercampur dengan bunyi nafasnya yang berat. Kami masing-masing terdiam 
mengumpulkan tenaga kami yang sudah tercerai berai.
Aku sendiri terpejam sambil mencoba merasakan kenikmatan yang baru saja 
aku alami di sekujur tubuhku ini. Terasa benar ada cairan kental yang 
hangat perlahan-lahan meluncur masuk ke dalam liang vaginaku. Hangat dan
 sedikit gatal menggelitik.
Bagian bawah tubuhku itu terasa benar-benar banjir, basah kuyub. Aku 
menggerakkan tanganku untuk menyeka bibir bawahku itu dan tanganku pun 
langsung dipenuhi dengan cairan kental berwarna putih susu yang 
berlepotan di sana.
“Bukan main Winda, ternyata kau pun seperti kuda liar!” kata Pak Herry 
penuh kepuasan. Aku yang berbaring menelungkup di atas kasur hanya 
tersenyum lemah. aku sungguh sangat kelelahan, kupejamkan mataku untuk 
sejenak beristirahat. Persetan dengan tubuhku yang masih telanjang 
bulat.
Pak Herry kemudian bangkit berdiri, ia menyulut sebatang rokok. Lalu 
lelaki tua itu mulai mengenakan kembali pakaiannya. Aku pun dengan malas
 bangkit dan mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai.
Sambil berpakaian ia bertanya, “Bagaimana dengan ujian saya pak?”.
“Minggu depan kamu dapat mengambil hasilnya”, sahut laki-laki itu pendek.
“Kenapa tidak besok pagi saja?”, protes aku tak puas.
“Aku masih ingin bertemu kamu, selama seminggu ini aku minta agar kau 
tidak tidur dengan lelaki lain kecuali aku!”, jawab Pak Herry.
Aku sedikit terkejut dengan jawabannya itu. Tapi akupun segera dapat 
menguasai keadaanku. Rupanya dia belum puas dengan pelayanan 
habis-habisanku barusan.
“Aku tidak bisa janji!”, sahutku seenaknya sambil bangkit berdiri dan 
keluar dari kamar mencari kamar mandi. Pak Herry hanya mampu terbengong 
mendengar jawabanku yang seenaknya itu.
Aku sedang berjalan santai meninggalkan rumah pak Herry, ini pertemuanku
 yang ketiga dengan laki-laki itu demi menebus nilai ujianku yang selalu
 jeblok jika ujian dengan dia. Mungkin malah sengaja dibuat jeblok biar 
dia bisa main denganku. Dasar…, namun harus kuakui, dia laki-laki hebat,
 daya tahannya sungguh luar biasa jika dibandingkan dengan usianya yang 
hapir mencapai usia pensiun itu. Bahkan dari pagi hingga sore hari ini 
dia masih sanggup menggarapku tiga kali, sekali di ruang tengah begitu 
aku datang, dan dua kali di kamar tidur. Aku sempat terlelap sesudahnya 
beberapa jam sebelum membersihkan diri dan pulang. Berutung kali ini, 
aku bisa memaksanya menandatangani berkas ujian susulanku.
“Masih ada mata kuliah Pengantar Berorganisasi dan Kepemimpinan”, katanya sambil membubuhkan nilai A di berkas ujianku.
“Selama bapak masih bisa memberiku nilai A”, kataku pendek.
“Segeralah mendaftar, kuliah akan dimulai minggu depan!”.
“Terima kasih pak!” kataku sambil tak lupa memberikan senyum semanis mungkin.
“Winda!” teriakan seseorang mengejutkan lamunanku. Aku menoleh ke arah 
sumber suara tadi yang aku perkirakan berasal dari dalam mobil yang 
berjalan perlahan menghampiriku. Seseorang membuka pintu mobil itu, 
wajah yang sangat aku benci muncul dari balik pintu Mitsubishi Galant 
keluaran tahun terakhir itu.
“Masuklah Winda…”.
“Tidak, terima kasih. Aku bisa jalan sendiri koq!”, Aku masih mencoba menolak dengan halus.
“Ayolah, masa kau tega menolak ajakanku, padahal dengan pak Herry saja kau mau!”.
Aku tertegun sesaat, Bagai disambar petir di siang bolong.
“Da…,Darimana kau tahu?”.
“Nah, jadi benar kan…, padahal aku tadi hanya menduga-duga!”
“Sialan!”, Aku mengumpat di dalam hati, harusnya tadi aku bersikap lebih
 tenang, aku memang selalu nervous kalau ketemu cowok satu ini, rasanya 
ingin buru-buru pergi dari hadapannya dan tidak ingin melihat mukanya 
yang memang seram itu.
Seperti tipikal orang Indonesia bagian daerah paling timur, cowok ini 
hitam tinggi besar dengan postur sedikit gemuk, janggut dan cambang yang
 tidak pernah dirapikan dengan rambut keritingnya yang dipelihara 
panjang ditambah dengan caranya memakai kemeja yang tidak pernah 
dikancingkan dengan benar sehingga memamerkan dadanya yang penuh bulu. 
Dengan asesoris kalung, gelang dan cincin emas, arloji rolex yang 
dihiasi berlian…, cukup menunjukkan bahwa dia ini orang yang memang 
punya duit. Namun, aku menjadi muak dengan penampilan seperti itu.
Kevin memang salah satu jawara di kampus, anak buahnya banyak dan dengan
 kekuatan uang serta gaya jawara seperti itu membuat dia menjadi salah 
satu momok yang paling menakutkan di lingkungan kampus. Dia itu 
mahasiswa lama, dan mungkin bahkan tidak pernah lulus, namun tidak ada 
orang yang berani mengusik keberadaannya di kamus, bahkan dari kalangan 
akademik sekalipun.
“Gimana? Masih tidak mau masuk?”, tanya dia setengah mendesak.
Aku tertegun sesaat, belum mau masuk. Aku memang sangat tidak menyukai 
laki-laki ini, Tetapi kelihatannya aku tidak punya pilihan lain, 
bisa-bisa semua orang tahu apa yang kuperbuat dengan pak Herry, dan aku 
sungguh-sungguh ingin menjaga rahasia ini, terutama terhadap Erwin, 
tunanganku. Namun saat ini aku benar benar terdesak dan ingin segera 
membiarkan masalah ini berlalu dariku. Makanya tanpa pikir panjang aku 
mengiyakan saja ajakannya.
Kevin tertawa penuh kemenangan, ia lalu berbicara dengan orang yang 
berada di sebelahnya supaya berpindah ke jok belakang. Aku membanting 
pantatku ke kursi mobil depan, dan pemuda itu langsung menancap gas. 
Sambil nyengir kuda. Kesenangan.
“Ke mana kita?”, tanyaku hambar.
“Lho? Mestinya aku yang harus tanya, kau mau ke mana?”, tanya Kevin pura-pura heran.
“Sudahlah Kevin , tak usah berpura-pura lagi, kau mau apa?”, Suaraku 
sudah sedemikian pasrahnya. Aku sudah tidak mau berpikir panjang lagi 
untuk meminta dia menutup-nutupi perbuatanku. Orang yang duduk di 
belakangku tertawa.
“Rupanya dia cukup mengerti apa kemauanmu Kevin !”, Dia berkomentar.
“Ah, diam kau Maki!” Rupanya orang itu namanya Maki, orang dengan 
penampilan hampir mirip dengan Kevin kecuali rambutnya yang dipotong 
crew-cut.
“Bagaimana kalau ke rumahku saja? Aku sangat merindukanmu Winda!”, pancing Kevin .
“Sesukamulah…!”, Aku tahu benar memang itu yang diinginkannya.
Kevin tertawa penuh kemenangan.
Ia melarikan mobilnya makin kencang ke arah sebuah kompleks perumahan. 
Lalu mobil yang ditumpangi mereka memasuki pekarangan sebuah rumah yang 
cukup besar. Di pekarangan itu sudah ada 2 buah mobil lain, satu 
Mitsubishi Pajero dan satu lagi Toyota Great Corolla namun keduanya 
kelihatan diparkir sekenanya tak beraturan.
Interior depan rumah itu sederhana saja. Cuma satu stel sofa, sebuah rak
 perabotan pecah belah. Tak lebih. Dindingnya polos. Demikian juga 
tempok ruang tengah. Terasa betapa luas dan kosongnya ruangan tengah 
itu, meski sebuah bar dengan rak minuman beraneka ragam terdapat di 
sudut ruangan, menghadap ke taman samping. Sebuah stereo set terpasang 
di ujung bar. Tampaknya baru saja dimatikan dengan tergesa-gesa. Pitanya
 sebagian tergantung keluar.
Dari pintu samping kemudian muncul empat orang pemuda dan seorang gadis,
 yang jelas-jelas masih menggunakan seragam SMU. Mereka semua 
mengeluarkan suara setengah berbisik. Keempat orang laki-laki itu, tiga 
orang sepertinya sesuku dengan Kevin atau sebangsanya, sedangkan yang 
satu lagi seperti bule dengan rambutnya yang gondrong. Sementara si 
gadis berperawakan tinggi langsing, berkulit putih dan rambutnya yang 
hitam lurus dan panjang tergerai sampai ke pinggang, ia memakai bandana 
lebar di kepalanya dengan poni tebal menutupi dahinya. Wajahnya yang 
oval dan bermata sipit menandakan bahwa ia keturunan Cina atau 
sebangsanya. Harus kuakui dia memang cantik, seperti bintang film drama 
Mandarin. Berbeda dengan penampilan ketiga laki-laki itu, gadis ini 
kelihatannya bukan merupakan gerombolan mereka, dilihat dari tampangnya 
yang masih lugu. Ia masih mengenakan seragam sebuah sekolah Katolik yang
 langsung bisa aku kenali karena memang khas. Namun entah mengapa dia 
bisa bergaul dengan orang-orang ini.
Kevin bertepuk tangan. Kemudian memperkenalkan diriku dengan mereka. 
Yos, dan Bram seperti tipikal orang sebangsa Kevin , Tito berbadan 
tambun dan yang bule namanya Marchell, sementara gadis SMU itu bernama 
Shelly. Mereka semua yang laki-laki memandang diriku dengan mata “lapar”
 membuat aku tanpa sadar menyilangkan tangan di depan dadaku, 
seolah-olah mereka bisa melihat tubuhku di balik pakaian yang aku 
kenakan ini.
Tampak tak sabaran Kevin menarik diriku ke loteng. Langsung menuju 
sebuah kamar yang ada di ujung. Kamar itu tidak berdaun pintu, 
sebenarnya lebih tepat disebut ruang penyangga antara teras dengan 
kamar-kamar yang lain Sebab di salah satu ujungnya merupakan pintu 
tembusan ke ruang lain.
Di sana ada sebuah kasur yang terhampar begitu saja di lantai kamar. 
Dengan sprei yang sudah acak-acakan. Di sudut terdapat dua buah kursi 
sofa besar dan sebuah meja kaca yang mungil. Di bawahnya berserakan 
majalah-majalah yang cover depannya saja bisa membuat orang merinding. 
Bergambar perempuan-perempuan telanjang.
Aku sadar bahkan sangat sadar, apa yang dimaui Kevin di kamar ini. Aku 
beranjak ke jendela. Menutup gordynnya hingga ruangan itu kelihatan 
sedikit gelap. Namun tak lama, karena kemudian Kevin menyalakan lampu. 
Aku berputar membelakangi Kevin , dan mulai melucuti pakaian yang aku 
kenakan. Dari blouse, kemudian rok bawahanku kubiarkan meluncur bebas ke
 mata kakiku. Kemudian aku memutar balik badanku berbalik menghadap 
Kevin .
Betapa terkejutnya aku ketika aku berbalik, ternyata di hadapanku kini 
tidak hanya ada Kevin , namun Maki juga sedang berdiri di situ sambil 
cengengesan. Dengan gerakan reflek, aku menyambar blouseku untuk 
menutupi tubuhku yang setengah telanjang. Melihat keterkejutanku, kedua 
laki-laki itu malah tertawa terbahak-bahak.
“Ayolah Winda, Toh engkau juga sudah sering memperlihatkan tubuh telanjangmu kepada beberapa laki-laki lain?”.
“Kurang ajar kau Kevin !” Aku mengumpat sekenanya.
Wajah laki-laki itu berubah seketika, dari tertawa terbahak-bahak 
menjadi serius, sangat serius. Dengan tatapan yang sangat tajam dia 
berujar, “Apakah engkau punya pilihan lain? Ayolah, lakukan saja dan 
sesudah selesai kita boleh melupakan kejadian ini.”
Aku tertegun, melayani dua orang sekaligus belum pernah aku lakukan 
sebelumnya. Apalagi orang-orang yang bertampang seram seperti ini. Tapi 
seperti yang dia bilang, aku tak punya pilihan lain. Seribu satu 
pertimbangan berkecamuk di kepalaku hingga membuat aku pusing. Tubuhku 
tanpa sadar sampai gemetaran, terasa sekali lututku lemas sepertinya aku
 sudah kehabisan tenaga karena digilir mereka berdua, padahal mereka 
sama sekali belum memulainya.
Akhirnya, dengan sangat berat aku menggerakkan kedua tangan ke arah 
punggungku di mana aku bisa meraih kaitan BH yang aku pakai. Baju yang 
tadi aku pakai untuk menutupi bagian tubuhku dengan sendirinya terjatuh 
ke lantai. Dengan sekali sentakan halus BH-ku telah terlepas dan 
meluncur bebas dan sebelum terjatuh ke lantai kulemparkan benda itu ke 
arah Kevin yang kemudian ditangkapnya dengan tangkas. Ia mencium bagian 
dalam mangkuk bra-ku dengan penuh perasaan.
“Harum!”, katanya.
Lalu ia seperti mencari-cari sesuatu dari benda itu, dan ketika ditemukannya ia berhenti.
“36B!”, katanya pendek.
Rupanya ia pingin tahu berapa ukuran dadaku ini.
“BH-nya saja sudah sedemikian harum, apalagi isinya!”, katanya seraya 
memberikan BH itu kepada Maki sehingga laki-laki itu juga ikut-ikutan 
menciumi benda itu. Namun demikian mata mereka tak pernah lepas menatap 
belahan payudaraku yang kini tidak tertutup apa-apa lagi.
Aku kini hanya berdiri menunggu, dan tanpa diminta Kevin melangkah 
mendekatiku. Ia meraih kepalaku. Tangannya meraih kunciran rambut dan 
melepaskannya hingga rambutku kini tergerai bebas sampai ke punggung.
“Nah, dengan begini kau kelihatan lebih cantik!”
Ia terus berjalan memutari tubuhku dan memelukku dari belakang. Ia 
sibakkan rambutku dan memindahkannya ke depan lewat pundak sebelah 
kiriku, sehingga bagian punggung sampai ke tengkukku bebas tanpa 
penghalang. Lalu ia menjatuhkan ciumannya ke tengkuk belakangku. 
Lidahnya menjelajah di sekitar leher, tengkuk kemudian naik ke kuping 
dan menggelitik di sana. Kedua belah tangannya yang kekar dan berbulu 
yang tadi memeluk pinggangku kini mulai merayap naik dan mulai 
meremas-remas kedua belah payudaraku dengan gemas. Aku masih 
menanggapinya dengan dingin dengan tidak bereaksi sama sekali selain 
memejamkan mataku.
Kevin rupanya tidak begitu suka aku bersikap pasif, dengan kasar ia 
menarik wajahku hingga bibirnya bisa melumat bibirku. Aku hanya berdiam 
diri saja tak memberikan reaksi. Sambil melumat, lidahnya mencari-cari 
dan berusaha masuk ke dalam mulutku, dan ketika berhasil lidahnya 
bergerak bebas menjilati lidahku hingga secara tak sengaja lidahkupun 
meronta-ronta.
Sambil memejamkan mata aku mencoba untuk menikmati perasaan itu dengan 
utuh. Tak ada gunanya aku menolak, hal itu akan membuatku lebih 
menderita lagi. Dengan kuluman lidah seperti itu, ditingkahi dengan 
remasan-remasan telapak tangannya di payudaraku sambil sekali-sekali ibu
 jari dan telunjuknya memilin-milin puting susuku, pertahananku akhirnya
 bobol juga. Memang, aku sudah sangat terbiasa dan sangat terbuai dengan
 permaian seperti ini hingga dengan mudahnya Kevin mulai membangkitkan 
nafsuku. Bahkan kini aku mulai memberanikan menggerakkan tangan meremas 
kepala Kevin yang berada di belakangku. Sementara dengan ekor mataku aku
 melihat Maki beranjak berjalan menuju sofa dan duduk di sana, sambil 
pandangan matanya tidak pernah lepas dari kami berdua.
Mungkin karena merasa sudah menguasai diriku, ciuman Kevin terus 
merambat turun ke leherku, menghisapnya hingga aku menggelinjang. Lalu 
merosot lagi menelusup di balik ketiak dan merayap ke depan sampai 
akhirnya hinggap di salah satu pucuk bukit di dadaku, Dengan satu 
remasan yang gemas hingga membuat puting susuku melejit Kevin untuk 
mengulumnya. Pertama lidahnya tepat menyapu pentilnya, lalu bergerak 
memutari seluruh daerah puting susuku sebelum mulutnya mengenyot habis 
puting susuku itu. Ia menghisapnya dengan gemas sampai pipinya kempot.
Tubuhku secara tiba-tiba bagaikan disengat listrik, terasa geli yang 
luar biasa bercampur sedikit nyeri di bagian itu. Aku menggelinjang, 
melenguh apalagi ketika puting susuku digigit-gigit perlahan oleh Kevin .
 Buah anggur yang ranum itu dipermainkan pula dengan lidah Kevin yang 
kasap. Dipilin-pilinnya kesana kemari. Dikecupinya, dan disedotnya 
kuat-kuat sampai putingnya menempel pada telaknya. Aku merintih. 
Tanganku refleks meremas dan menarik kepalanya sehingga semakin membenam
 di kedua gunung kembarku yang putih dan padat. Aku sungguh tak tahu 
mengapa harus begitu pasrah kepada lelaki itu. Mengapa aku justeru 
tenggelam dalam permaianan itu? Semula aku hanya merasa terpaksa demi 
menutupi rahasia atas perbuatanku. Tapi kemudian nyatanya, permainan 
yang Kevin mainkan begitu dalam. Dan aneh sekali, Tanpa sadar aku mulai 
mengikuti permainan yang dipimpin dengan cemerlang oleh Kevin .
“Winda…”, “Ya?”, “Kau suka aku perlakukan seperti ini?”. Aku hanya 
mengangguk. Dan memejamkan matanya. membiarkan payudaraku terus 
diremas-remas dan puting susunya dipilin perlahan. Aku menggeliat, 
merasakan nikmat yang luar biasa. Puting susu yang mungil itu hanya 
sebentar saja sudah berubah membengkak, keras dan mencuat semakin 
runcing.
“Hsss…, ah!”, Aku mendesah saat merasakan jari-jari tangan lelaki itu 
mulai menyusup ke balik celana dalamku dan merayap mencari liang yang 
ada di selangkanganku. Dan ketika menemukannya Jari-jari tangan itu 
mula-mula mengusap-usap permukaannya, terus mengusap-usap dan ketika 
sudah terasa basah jarinya mulai merayap masuk untuk kemudian menyentuh 
dinding-dinding dalam liang itu.
Dalam posisi masih berdiri berhadapan, sambil terus mencumbui 
payudaraku, Kevin meneruskan aksinya di dalam liang gelap yang sudah 
basah itu. Makin lama makin dalam. Aku sendiri semakin menggelinjang tak
 karuan, kedua buah jari yang ada di dalam liang vaginaku itu 
bergerak-gerak dengan liar. Bahkan kadang-kadang mencoba merenggangkan 
liang vaginaku hingga menganga. Dan yang membuat aku tambah gila, ia 
menggerak-gerakkan jarinya keluar masuk ke dalam liang vaginaku 
seolah-olah sedang menyetubuhiku. Aku tak kuasa untuk menahan diri.
“Nggghh…!”, mulutku mulai meracau. Aku sungguh kewalahan dibuatnya 
hingga lututku terasa lemas hingga akhirnya akupun tak kuasa menahan 
tubuhku hingga merosot bersimpuh di lantai. Aku mencoba untuk mengatur 
nafasku yang terengah-engah. Aku sungguh tidak memperhatikan lagi yang 
kutahu kini tiba-tiba saja Kevin telah berdiri telanjang bulat di 
hadapanku. Tubuhnya yang tinggi besar, hitam dan penuh bulu itu dengan 
angkuhnya berdiri mengangkang persis di depanku sehingga wajahku persis 
menghadap ke bagian selangkangannya. Disitu, aku melihat batang 
kejantanannya telah berdiri dengan tegaknya. Besar panjang kehitaman 
dengan bulu hitam yang lebat di daerah pangkalnya.
Dengan sekali rengkuh, ia meraih kepalaku untuk ditarik mendekati daerah
 di bawah perutnya itu. Aku tahu apa yang dimauinya, bahkan sangat tahu 
ini adalah perbuatan yang sangat disukai para lelaki. Di mana ketika aku
 melakukan oral seks terhadap kelaminnya.
Maka, dengan kepalang basah, kulakukan apa yang harus kulakukan. Benda 
itu telah masuk ke dalam mulutku dan menjadi permainan lidahku yang 
berputar mengitari ujung kepalanya yang bagaikan sebuah topi baja itu. 
Lalu berhenti ketika menemukan lubang yang berada persis di ujungnya. 
Lalu dengan segala kemampuanku aku mulai mengelomoh batang itu sambil 
kadang-kadang menghisapnya kuat-kuat sehingga pemiliknya bergetar hebat 
menahan rasa yang tak tertahankan.
Pada saat itu aku sempat melirik ke arah sofa di mana Maki berada, dan 
ternyata laki-laki ini sudah mulai terbawa nafsu menyaksikan perbuatan 
kami berdua. Buktinya, ia telah mengeluarkan batang kejantanannya dan 
mengocoknya naik turun sambil berkali-kali menelan ludah. Konsentrasiku 
buyar ketika Kevin menarik kepalaku hingga menjauh dari selangkangannya.
 Ia lalu menarik tubuhku hingga telentang di atas kasur yang terhampar 
di situ. Lalu dengan cepat ia melucuti celana dalamku dan dibuangnya 
jauh-jauh seakan-akan ia takut aku akan memakainya kembali.
Untuk beberapa detik mata Kevin nanar memandang bagian bawah tubuhku 
yang sudah tak tertutup apa-apa lagi. Si Makipun sampai berdiri mendekat
 ke arah kami berdua seakan ia tidak puas memandang kami dari kejauhan.
Namun beberapa detik kemudian, Kevin mulai merenggangkan kedua belah 
pahaku lebar-lebar. Paha kiriku diangkatnya dan disangkutkan ke 
pundaknya. Lalu dengan tangannya yang sebelah lagi memegangi batang 
kejantanannya dan diusap-usapkan ke permukaan bibir vaginaku yang sudah 
sangat basah. Ada rasa geli menyerang di situ hingga aku menggelinjang 
dan memejamkan mata.
Sedetik kemudian, aku merasakan ada benda lonjong yang mulai menyeruak 
ke dalam liang vaginaku. Aku menahan nafas ketika terasa ada benda asing
 mulai menyeruak di situ. Seperti biasanya, aku tak kuasa untuk menahan 
jeritanku pada saat pertama kali ada kejantanan laki-laki menyeruak 
masuk ke dalam liang vaginaku.
Dengan perlahan namun pasti, kejantanan Kevin meluncur masuk semakin 
dalam. Dan ketika sudah masuk setengahnya ia bahkan memasukkan sisanya 
dengan satu sentakan kasar hingga aku benar-benar berteriak karena 
terasa nyeri. Dan setelah itu, tanpa memberiku kesempatan untuk 
membiasakan diri dulu, Kevin sudah bergoyang mencari kepuasannya 
sendiri.
Kevin menggerak-gerakkan pinggulnya dengan kencang dan kasar 
menghunjam-hunjam ke dalam tubuhku hingga aku memekik keras setiap kali 
kejantanan Kevin menyentak ke dalam. Pedih dan ngilu. Namun bercampur 
nikmat yang tak terkira. Ada sensasi aneh yang baru pertama kali 
kurasakan di mana di sela-sela rasa ngilu itu aku juga merasakan rasa 
nikmat yang tak terkira. Namun aku juga tidak bisa menguasai diriku lagi
 hingga aku sampai menangis menggebu-gebu, sakit keluhku setiap kali 
Kevin menghunjam, tapi aku semakin mempererat pelukanku, Pedih, tapi aku
 juga tak bersedia Kevin menyudahi perlakuannya terhadap diriku.
Aku semakin merintih. Air mataku meleleh keluar. kami terus bergulat 
dalam posisi demikian. Sampai tiba-tiba ada rasa nikmat yang luar biasa 
di sekujur tubuhku. Aku telah orgasme. Ya, orgasme bersama dengan orang 
yang aku benci. Tubuhku mengejang selama beberapa puluh detik. Sebelum 
melemas. Namun Kevin rupanya belum selesai. Ia kini membalikkan tubuhku 
hingga kini aku bertumpu pada kedua telapak tangan dan kedua lututku. Ia
 ingin meneruskannya dengan doggy style. Aku hanya pasrah saja.
Kini ia menyetubuhiku dari belakang. Tangannya kini dengan leluasa 
berpindah-pindah dari pinggang, meremas pantat dan meremas payudaraku 
yang menggelantung berat ke bawah. Kini Kevin bahkan lebih memperhebat 
serangannya. Ia bisa dengan leluasa menggoyangkan tubuhnya dengan cepat 
dan semakin kasar.
Pada saat itu tanpa terasa, Maki telah duduk mengangkang di depanku. 
Laki-laki ini juga telah telanjang bulat. Ia menyodorkan batang penisnya
 ke dalam mulutku, tangannya meraih kepalaku dan dengan setengah memaksa
 ia menjejalkan batang kejantanannya itu ke dalam mulutku.
Kini aku melayani dua orang sekaligus. Kevin yang sedang menyetubuhiku 
dari belakang. Dan Maki yang sedang memaksaku melakukan oral seks 
terhadap dirinya. Kevin kadang-kadang malah menyorongkan kepalanya ke 
depan untuk menikmati payudaraku. Aku mengerang pelan setiap kali ia 
menghisap puting susuku. Dengan dua orang yang mengeroyokku aku sungguh 
kewalahan hingga tidak bisa berbuat apa-apa. Malahan aku merasa sangat 
terangsang dengan posisi seperti ini.
Mereka menyetubuhiku dari dua arah, yang satu akan menyebabkan penis 
pada tubuh mereka yang berada di arah lainnya semakin menghunjam. 
Kadang-kadang aku hampir tersedak. Maki yang tampaknya mengerti 
kesulitanku mengalah dan hanya diam saja. Kevin yang mengatur segala 
gerakan.
Perlahan-lahan kenikmatan yang tidak terlukiskan menjalar di sekujur 
tubuhku. Perasaan tidak berdaya saat bermain seks ternyata mengakibatkan
 diriku melambung di luar batas yang pernah kuperkirakan sebelumnya. Dan
 kembali tubuhku mengejang, deras dan tanpa henti. Aku mengalami orgasme
 yang datang dengan beruntun seperti tak berkesudahan.
Tidak lama kemudian Kevin mengalami orgasme. Batang penisnya 
menyemprotkan air mani dengan deras ke dalam liang vaginaku. Benda itu 
menyentak-nyentak dengan hebat, seolah-olah ingin menjebol dinding 
vaginaku. Aku bisa merasakan air mani yang disemprotkannya banyak 
sekali, hingga sebagian meluap keluar meleleh di salah satu pahaku. 
Sesudah itu mereka berganti tempat. Maki mengambil alih perlakuan Kevin .
 Masih dalam posisi doggy style. Batang kejantanannya dengan mulus 
meluncur masuk dalam sekali sampai menyentuh bibir rahimku. Ia bisa 
mudah melakukannya karena memang liang vaginaku sudah sangat licin 
dilumasi cairan yang keluar dari dalamnya dan sudah bercampur dengan air
 mani Kevin yang sangat banyak. Permainan dilanjutkan. Aku kini tinggal 
melayani Maki seorang, karena Kevin dengan nafas yang tersengal-sengal 
telah duduk telentang di atas sofa yang tadi diduduki Maki untuk 
mengumpulkan tenaga. Aku mengeluh pendek setiap kali Maki mendorong 
masuk miliknya. Maki terus memacu gerakkannya. Semakin lama semakin 
keras dan kasar hingga membuat aku merintih dan mengaduh tak 
berkesudahan.
Pada saat itu masuk Bram dan Tito bersamaan ke dalam ruangan. Tanpa 
basa-basi, mereka pun langsung melucuti pakaiannya hingga telanjang 
bulat. Lalu mereka duduk di lantai dan menonton adegan mesum yang sedang
 terjadi antara aku dan Maki. Bram nampak kelihatan tidak sabaran Tetapi
 aku sudah tidak peduli lagi. Maki terus memacu menggebu-gebu. Laki-laki
 itu sibuk memacu sambil meremasi payudaraku yang menggelantung berat ke
 bawah.
Sesaat kemudian tubuhku dibalikkan kembali telentang di atas kasur dan 
pada saat itu Bram dengan tangkas menyodorkan batang kejantanannya ke 
dalam mulutku. Aku sudah setengah sadar ketika Tito menggantikan Maki 
menggeluti tubuhku. Keadaanku sudah sedemikian acak-acakan. Rambut yang 
kusut masai. Tubuhku sudah bersimpah peluh. Tidak hanya keringat yang 
keluar dari tubuhku sendiri, tapi juga cucuran keringat dari para 
laki-laki yang bergantian menggauliku. Aku kini hanya telentang pasrah 
ditindihi tubuh gemuk Tito yang bergoyang-goyang di atasnya.
Laki-laki gemuk itu mengangkangkan kedua belah pahaku lebar-lebar sambil
 terus menghunjam-hunjamkan miliknya ke dalam milikku. Sementara Bram 
tak pernah memberiku kesempatan yang cukup untuk bernafas. Ia terus saja
 menjejal-jejalkan miliknya ke dalam mulutku. Aku sendiri sudah tidak 
bisa mengotrol diriku lagi. Guncangan demi guncangan yang diakibatkan 
oleh gerakan Titolah yang membuat Bram makin terangsang. Bukan lagi 
kuluman dan jilatan yang harusnya aku lakukan dengan lidah dan mulutku.
Dan ketika Tito melenguh panjang, ia mencapai orgasmenya dengan meremas 
kedua belah payudaraku kuat-kuat hingga aku berteriak mengaduh 
kesakitan. Lalu beberapa saat kemudian ia dengan nafasnya yang 
tersengal-sengal memisahkan diri dari diriku. Dan pada saat hampir 
bersamaan Bram juga mengerang keras. Batang kejantanannya yang masih 
berada di dalam mulutku bergerak liar dan menyemprotkan air maninya yang
 kental dan hangat. Aku meronta, ingin mengeluarkan banda itu dari dalam
 mulutku, namun tangan Bram yang kokoh tetap menahan kepalaku dan aku 
tak kuasa meronta lagi karena memang tenagaku sudah hampir habis. Cairan
 kental yang hangat itu akhirnya tertelan olehku. Banyak sekali. Bahkan 
sampai meluap keluar membasahi daerah sekitar bibirku sampai meleleh ke 
leher. Aku tak bisa berbuat apa-apa, selain dengan cepat mencoba menelan
 semua yang ada supaya tidak terlalu terasa di dalam mulutku. Aku 
memejamkan mata erat-erat, tubuhku mengejang melampiaskan rasa yang 
tidak karuan, geli, jijik, namun ada sensasi aneh yang luar biasa juga 
di dalam diriku. Sungguh sangat erotis merasakan siksa birahi semacam 
ini hingga akupun akhirnya orgasme panjang untuk ke sekian kalinya.
Dengan ekor mataku aku kembali melihat seseorang masuk ke ruangan yang 
ternyata si bule dan orang itu juga mulai membuka celananya. Aku 
menggigit bibir, dan mulai menangis terisak-isak. Aku hanya bisa 
memejamkan mata ketika Marchell mulai menindihi tubuhku. Pasrah.
Tidak lama kemudian setelah orang terakhir melaksanakan hasratnya pada 
diriku mereka keluar. aku merasa seluruh tubuhku luluh lantak. Setelah 
berhasil mengumpulkan cukup tenaga kembali, dengan terhuyung-huyung, aku
 bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaianku seadanya dan pergi 
mencari kamar mandi.
Aku berpapasan dengan Kevin yang muncul dari dalam sebuah ruangan yang 
pintunya terbuka. Lelaki itu sedang sibuk mengancingkan retsluiting 
celananya. Masih sempat terlihat dari luar di dalam kamar itu, di atas 
tempat tidur tubuh Shelly yang telanjang sedang ditindihi oleh tubuh 
Maki yang bergerak-gerak cepat. Memacu naik turun. Gadis itu 
menggelinjang-gelinjang setiap kali Maki bergerak naik turun. Rupanya 
anak itu bernasib sama seperti diriku.
“Di mana aku bisa menemukan kamar mandi?” tanyaku pada Kevin .
Tanpa menjawab, ia hanya menunjukkan tangannya ke sebuah pintu. Tanpa basa-basi lagi aku segera beranjak menuju pintu itu.
Di sana aku mandi berendam air panas sambil mengangis. Aku tidak tahu 
saya sudah terjerumus ke dalam apa kini. Yang membuat aku benci kepada 
diriku sendiri, walaupun aku merasa sedih, kesal, marah bercampur 
menjadi satu, namun demikian setiap kali teringat kejadian barusan, 
langsung saja selangkanganku basah lagi.
Aku berendam di sana sangat lama, mungkin lebih dari satu jam lamanya. 
Setelah terasa kepenatan tubuhku agak berkurang aku menyudahi mandiku. 
Dengan berjalan tertatih-tatih aku melangkah keluar kamar mandi dan 
berjalan mencari pintu keluar. Sudah hampir jam sebelas malam ketika aku
 keluar dari rumah itu.
Sampai di dalam rumah, Aku langsung ngeloyor masuk ke kamar. Aku tak 
peduli dengan kakakku yang terheran-heran melihat tingkah lakuku yang 
tidak biasa, aku tak menyapanya karena memang sudah tidak ada keinginan 
untuk berbicara lagi malam ini. Aku tumpahkan segala perasaan campur 
aduk itu, kekesalan, dan sakit hati dengan 
menangis.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,